Kami, yang sirna ditiup angin
Mengebas debu dari kaki kami
Kami yang tiada, menjadi sebuah cipta, tanpa busana
Riak dan gelombang membasahi gelap
Dalam berkelana meniti pantai
Melayang, dan melayang
Membalut duka dalam kelam gulita
Menjadi satu iota secercah asa
Jika ada pada mulanya,
Nama atau rupa, tiada wujud
Jika tubuh itu, hina
Salib dan darah hanya untuk hal percuma
Ketika dihembus, bernyawa
Kembali pada akhir
Terbayang dalam kegelapan
Dan kekelaman.
Dingin,..membeku dalam balutan rayap
Menghilang tanggal dalam sisa
Jika pertama dan kedua,
Dicampak-kan dalam kertak lembah ratapan
Maka deraian lain sama saja
Sia sia, percuma.
Kembali akan sirna, dalam kebusukan cacing cacing ditanah
Meratap dalam erangan panjang
Dan dalam rintihan keabadian.
Sekalipun irisan demi irisan dihidangkan
Dalam talam kebesaran.
Untuk apa?
Jika dimensi dilintas dalam ruang waktu
Dan aksara terucap tanpa makna
Kelam itu memporak poranda
Bias meronah dalam merah,darah
Kami menangis,
Dalam simpang jalan
Kami meratap,
Di antara sudut tajam.
Kami memohon, dalam bisikan erang
Jika saja jari ini membeku,
Maka sekamnya api kan tertutup malu.
Jika belas kasih ini tersisa
Mungkin kami akan bisa mendapat sedikit saja biji sesawi.
Tebusan tak pernah sebanding
Noktah merah tak lagi berbekas
Dalam alunan alunan ketidakpastian
Dalam kebusukan dan puing puing kebesaran
Yang kelam, mencekam
Biar lewat dan kemudian menghilang
Pengetahuan kami tak cukup
Menyingkapkan siratan dalam suratan
Misteri dalam keabadian
Sampai bumi hangus berantakan.
Sekali berarti,
Tak pernah lagi berarti.
Lalu mati.
Mati.
Mati.
Mati,
Dan mati.
Mengintai, mendekat
Sekali lagi,
Mati
Bukan kembali dalam kerlip warna dan warni
Bukan kembali, dalam salju, dan patahan cemara.
Namun
Setajam Pedang
Sekuat Halilintar
Sedahsyat topan
Kami, meratap tanpa henti bisa berharap
Secuil saja tetesan embun surga.
Setetes.
Untuk jeritan erangan kami.
Dari lembah terdalam
Gelap.yang benar benar mencekap gulita.
Kertakan – ratapan –pilu,ngilu.
Tolong,
Kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar