Dia mengatakan :
Banyak ‘serigala buas yang memperhatikan’
Dengan mata merahnya yang mengawasi
Juga tetesan liurnya menghasrati
Juga taringnya siap mengoyak tubuh ini
Tapi abadi, tak kan bisa :
“Menghancurkan – Melumatkan - Meluluhlantakan”
ruh insani
Mungkin harus kutambah
Dengan untaian kata:
Tulus seperti merpati
Karenanya,ular beludak enggan lagi gentar
Untuk mematuk
Karena bisa tak lagi punya arti
Hanya saja besarkah iman itu?
Dan yakinkah hati ini?
Jika serigala buas mengawasi
Tak akan mereka bergerak sendiri
Karena barisan berderap
Dalam intaian merajuk hari
Oh…..Kelam memang
Seolah tak mengerti
Kalau ada hanya untuk sebuah kekisruhan
Ikut siapa? dia, atau dia?
Atau dia yang sudah ada dan telah lama ada
Sebelum kamu, juga aku
Ketika berselimut kain
Dan tubuh berbalut rapat dalam kedap
Intaian tak menyirna
Bahkan lebih lagi tajam mengawasi
Dengan mata merah dan hasrat liur menetes
Serigala berbulu domba
Tak lagi…………….
Serigala berparas serigala, bukan domba
Tak sembunyi dalam baju
Lantang berikrar
Aku!!! Bukan dia dia atau dia
Masa abadi
Satu dalam keindahan syurga
Ribuan dalam tangisan pilu
Pintu besar berjalan lapang
Atau gerbang sempit terbentang keabadian
Nama?
Tak punya arti!!!
Kumpulan dari srakan tak memberi kepastian
Mungkin hanya janji
Dalam tutur kata ucapan serapah
Vertikal tanpa horisontal
Atau kata bijak tanpa perbuatan?
Percuma, sungguh ironi
Kalau jatuhnya pada kertakan gigi
Hati hati katanya lagi.
Ajal tak kenal waktu, juga lelaku
Ajal tak kenal waktu, juga lelaku
Hati hati, serunya lagi
Rapatkan celah dengan satu yang satu
Siapkan jiwa dalam balutan raga
Karena sekali lagi,
Datangnya seperti pencuri
Tanpa permisi,
Hati hati, katanya lagi
Terhadap serigala buas bermata merah yang mengawasi
Dalam lolongan panjang tiada henti
Sebuah puisi untuk Avianti Armand
Tidak ada komentar:
Posting Komentar